OPINI - DINAMIKA PERMASALAHAN UJIAN NASIONAL
Dinamika
Permasalahan Ujian Nasional
Oleh: Ahmad Teguh
Fahruki
Berbicara
mengenai ujian nasional, tak akan pernah lepas dari definisi ujian nasional itu
sendiri sebagai suatu bentuk evaluasi pembelajaran yang dilakukan secara
nasional dan sistematis terhadap peserta didik. Dalam dunia pendidikan
Indonesia, ujian nasional sudah lama ada dan dijadikan sebagai syarat utama
dalam menentukan kelulusan para peserta didik. Hanya saja setiap tahunnya, pro
dan kontra selalu muncul seiring terus dilaksanakannya ujian nasional tersebut.
Ada
beberapa hal yang mengundang perdebatan bagi khalayak ketika membahas tentang ujian
nasional. Pertama, ujian nasional tidak tepat jika terus dijadikan sebagai
syarat utama dalam menentukan kelulusan peserta didik. Ujian nasional
seharusnya digunakan sebagai pengukur dan penilai sejauh mana kompetensi siswa
sudah tercapai. Kemudian dari pengukuran itulah dapat dijadikan batu loncatan
bagi pemerintah pusat untuk melakukan pemetaan terhadap wilayah-wilayah mana
saja yang masih mempunyai tingkat pendidikan rendah, sedang ataupun tinggi.
Agar nantinya perhatian yang lebih serius dapat diberikan terhadap wilayah dengan
tingkat pendidikan rendah tersebut, bukan malah dijadikan sebagai syarat
penentu kelulusan sebagaimana yang terjadi saat ini. Dulu, untuk menentukan apakah seorang peserta
didik dapat lulus maka nilai yang diambil adalah 100 % nilai dari ujian nasional,
kemudian berubah menjadi 40 % nilai
ujian sekolah ditambah dengan 60 % nilai
ujian nasional. Dan saat sekarang ini
berubah menjadi 50 % diambil dari nilai ujian sekolah dan 50 % diambil dari
nilai ujian nasional. Meskipun demikian, menjadikan nilai ujian nasional
sebagai salah satu nilai penentu kelulusan tetap merupakan suatu pilihan yang
kurang tepat. Sebab kelulusan tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan hasil
melainkan juga harus dilihat proses pembelajaran yang sudah terjadi.
Kedua, ujian
nasional dirasa tidak adil bagi para peserta didik. Bagaimana mungkin hasil
belajar peserta didik yang ada di kota hendak disamaratakan dengan hasil
belajar peserta didik yang ada di desa dengan suatu evaluasi yang disebut ujian
nasional. Tentu saja hasilnya akan berbeda. Peserta didik yang tinggal di desa
memiliki pencapaian kompetensi yang rendah karena proses belajar mereka terkendala
dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada. Menurut data Badan Pusat
Statistik bahwa ada 10.985 desa yang masih tidak mempunyai bangunan Sekolah
Dasar (SD), 275 kecamatan tanpa bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 816
kecamatan yang tidak punya bangunan Sekolah Menengah Atas (SMA). Jelas hal ini tidak adil apabila kemampuan mereka
yang tinggal di daerah terpencil harus disamakan dengan mereka yang hidup di
tengah-tengah kota dan dipaksa mengejar bahkan harus melampaui standar nilai
yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat melalui ujian nasional. Yang setiap
tahunnya standar nilai itu terus bertambah.
Salah
satu bentuk ketidakadilan lainnya dari ujian nasional adalah saat dimana jerih
payah peserta didik selama tiga tahun harus diputuskan hanya dengan waktu tiga
hari saja. Padahal jika ditanya siapa yang lebih mengetahui dan memahami sejauh
mana kompetensi para peserta didik, maka jawabannya sudah pasti adalah guru di
sekolah itu sendiri bukan pemerintah pusat. Jika diberi wewenang, gurulah yang jauh lebih
berhak menentukan apakah seorang peserta didik dapat lulus atau tidak.
Kemudian ujian nasional secara tidak langsung
membawa perubahan sikap dan mental bagi para guru maupun peserta didik ke arah
yang negatif. Kondisi yang memaksa bahwa semua peserta didik harus lulus ujian
nasional, pada akhirnya akan memunculkan beberapa reaksi diantaranya pihak
sekolah akan berusaha sebaik mungkin
untuk menjaga serta mempertaruhkan nama baik sekolahnya dengan cara-cara kotor
seperti membeli kunci jawaban kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
dan kemudian membagikannya kepada para peserta didik. Faktanya dari data Federasi
Serikat Guru Indonesia selama 5 tahun pemantauan, laporan kecurangan ujian
nasional terbesar terjadi pada tahun 2013, tercatat ada 1.035 laporan. Kemudian
di tahun 2014 jumlahnya menurun menjadi 304 laporan dan di tahun 2015 ini,
sudah mencapai 107 laporan dari awalnya yang hanya 91 laporan. Menurut FSGI
kemungkinan laporan-laporan itu akan masih terus bertambah. Hal ini membuktikan
bahwa ujian nasional bukan saja dirasa tidak adil namun juga berdampak buruk
terhadap perubahan sikap dan mental para peserta didik maupun guru itu sendiri.
Dan yang
terakhir yang sering menjadi masalah
adalah menyangkut teknis pelaksanaan ujian nasional itu sendiri yang sering
menjadi masalah. Dari yang awalnya hanya dua paket soal, kemudian berubah
menjadi lima paket soal dan bahkan saat ini menjadi dua puluh paket soal. Jumlah
paket soal yang semakin bertambah berdampak pada kinerja para tim guru yang
bertugas membuat soal. Hal itu akan memicu lamanya proses penyelesaian dan
pencetakan naskah, hingga pada akhirnya pendistribusian soal juga akan ikut
terhambat. Tak jarang, saat ini masih ada wilayah yang terlambat mendapat
distribusi soal beserta lembar jawabannya seperti yang terjadi di Bekasi, Jawa
Barat baru-baru ini. Ditambah lagi mengenai lembar soal maupun lembar jawaban
komputer yang rusak dan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan jawaban. Selain
masalah teknis, munculnya Computer Base Test (CBT) di tahun 2015 ini,
justru bukan mempermudah pelaksanaan ujian nasional melainkan akan mempermudah
timbulnya kecurangan-kecurangan seperti pembocoran soal melalui sistem komputer.
Sebab dalam Computer Base Test ini, siswa hanya akan menjawab soal
langsung pada sistem komputer.
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan
bahwa ujian nasional tidak tepat jika harus dijadikan syarat penentu kelulusan,
akan tetapi ujian nasional tetap harus dilaksanakan sebagai acuan dalam
mengukur sejauh mana kompetensi peserta didik, agar nantinya pemerintah pusat
dapat melakukan pemetaan. Selain itu konsep ujian nasional sebagai penentu
kelulusan terasa tidak adil bagi peserta didik dilihat dari segi waktu pelaksanaannya
yang singkat dan standar nilai kelulusannya yang tinggi untuk semua wilayah di
Indonesia. Maka dari itu dalam pelaksanaannya semua pihak yang terkait harus
ikut ambil bagian mengawasi pelaksanaan ujian nasional agar kecurangan-kecurangan
akibat rasa ketidakadilan itu bisa dikurangi.
0 Response to "OPINI - DINAMIKA PERMASALAHAN UJIAN NASIONAL"
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.