CERPEN - KAKI-KAKI KECIL
KAKI-KAKI KECIL
Oleh :
Ahmad Teguh Fahruki
Ketika melintas di jalan lintas
Binjai-Stabat, kalian akan menjumpai sebuah gapura besar sebagai pemisah antara
dua wilayah yang berbeda. Nah dari arah Binjai tepat di samping kanan gapura
tersebut ada sebuah simpang. Melalui simpang ini kita bisa tembus menuju ke sebuah
pelabuhan yang orang sering menyebutnya sebagai pelabuhan Belawan. Tapi maaf kali
ini aku tidak akan membahas tentang pelabuhan tersebut. Aku hanya ingin
menunjukkan pada kalian dimana rumahku. Mari kita lanjutkan! Masuk melalui
simpang ini kita berjalan kira-kira 500 meter jauhnya, lalu kita akan menemukan
sebuah lapangan bola yang terkenal. Lihatlah sebuah rumah makan kecil di
pinggir jalan dekat lapangan. Yah inilah dia rumah makan, tempat dimana dulu
aku pernah singgah ketika tak sengaja tersesat bersama tumpukan kertas dan tulisan-tulisan
yang tak pernah kutahu maknanya. Di samping rumah makan itu ada sebuah jalan
beraspal yang lebarnya kira-kira 3 meter. Jika kalian ingin tahu dimana rumahku,
tinggal ikuti saja jalan beraspal itu hingga sampai pada sebuah pertigaan jalan
yang beraspal juga. Kalian tinggal
membelok kiri dari posisi tepat dimana kalian berada lalu berjalanlah kira-kira
200 meter jauhnya.
Selanjutnya, kalian akan menemukan sebuah
mesjid. Kemudian, alihkan segera pandangan kalian ke sisi kanan depan kira-kira 15 meter dari masjid
itu. Kalian akan menemukan sebuah rumah yang cukup besar. Yah inilah dia, bukan
rumahku. Ini hanya sebuah rumah milik orang yang cukup dihargai di dusun ini,
yaitu rumah Kepala Dusun. Hm...Capek ya rasanya untuk menemukan rumahku, tapi
kalian tak perlu kecewa, sebentar lagi
kalian akan segera sampai. Posisikan
lagi mata kalian ke samping rumah yang menghadap tepat ke arah Selatan itu,
kalian akan menemukan gang Pepaya. Aku tak tahu mengapa gang tersebut dinamakan
pepaya, mungkin karena hampir semua penduduk di lorong ini mempunyai tanaman
pepaya. Entahlah! Tapi ada untungnya juga mereka menanam pepaya, karena hampir
setiap musim panen tiba, aku selalu kebagian jatah pepaya, ya meskipun pepaya
bukanlah makanan pokokku.
Ups.. maaf aku rasa kita telah lari dari alur
cerita, mari kita lanjutkan! Kalian tinggal berjalan lebih kurang 10 meter
masuk ke dalam gang tersebut, lalu kalian akan mendapati sebuah rumah yang
tidak terlalu besar, berdinding papan berwarna hijau mudah, dengan teras rumah
yang hampir dikelilingi dengan bunga-bunga berdaun lebar. Sekali lagi aku minta
maaf, bukan maksudku mempermainkan kalian, ini bukanlah rumahku. Kalian cuma perlu
berjalan ke belakang rumah tersebut, lalu masuk melalui dapur yang lantainya
sebagian terbuat dari tanah. Kalian alihkan saja pandangan kalian kearah pojok
dapur tersebut, maka kalian akan menjumpai gundukan pasir kecil berbentuk
kerucut dengan tinggi yang hanya seukuran jari. Dan tanpa aku sebutkan siapa
aku, kalian tentu bisa menebaknya dengan benar. Yah itulah aku.
Kisahku
diawali dari dapur ini, aku sudah lama tinggal
di sini, sudah setahun lebih sejak musibah banjir yang melanda rumah
kami sebelumnya. Yang letaknya tidak jauh dari dapur ini, 20 langkah untuk raksasa seperti mereka. Namun
2000 langkah bagi makhluk seperti kami. Musibah banjir itu telah merenggut
nyawa adikku yang sedang bermain di depan rumahdan nyawa ayahku yang sedang
bekerja mencari nafkah. Sampai sekarang pun aku tidak bisa menemukan jasad
mereka yang terbawa arus banjir kala itu. Aku kini hidup bersama Ibuku dan
harus bekerja keras menggantikan peran ayahku. Setiap hari aku harus menjaganya,
melindunginya dan merawatnya, sebab Ia merupakan orang yang berharga bagi
golongan kami. Ia adalah pemimpin kami.
***
Hari ini
aku harus kembali bekerja mencari butiran putih kilat dan manis untuk makanan
pokok kaum kami. Aku bersama teman sebayaku berjalan menyusuri jalan-jalan
kecil untuk menemukan segudang tumpukan butiran-butiran itu. Maklum saja
orang-orang di lingkungan sekitar tempat tinggal kami memang mempunyai sebuah
usaha pembuatan roti, jadi kami bisa dengan mudah menemukan apa yang kami cari.
Terkadang di sela-sela perjalanan, kami membicarakan tentang manusia–manusia
yang memasak dengan beranekaragam bahan makanan, tapi mereka sendiri tak mengetahui
bahaya dari apa yag telah mereka konsumsi selama ini. Seandainya mereka mampu
mendengar dan mengerti bahasa kami pasti mereka akan berfikir dua kali untuk
memakan makanan yang telah mereka buat sendiri.
Kali ini
aku mempercepat langkahku, karena jika butiran-butiran itu telah terlebih
dahulu diolah menjadi roti, maka besar kemungkinan aku tidak akan mendapatkan
bagian apa-apa. Yah tepat sekali perkiraanku, setelah hampir sampai dengan
gudang yang berisi butiran-butiran itu, aku melihat segolongan kami yang lebih
dewasa dariku, telah kembali dari mencari makan. Mereka membawa satu butiran
putih itu di tangan mereka, meskipun telah berhasil mendapatkan apa yang telah
mereka cari. Mereka tak pernah bersikap angkuh dan sombong kepadaku dan
teman-temanku, mereka senantiasa berhenti
sejenak untuk berpelukkan atau sekedar berjabat tangan pada kami, guna mempererat
tali silaturrahmi yang tlah ada di antara kami. Meskipun sebenarnya kami lebih
muda dari mereka. Malah terkadang ada yang berhenti sejenak untuk kemudian
berkata-kata. Selain itu mereka tidak pernah memandang siapa ayah dan ibu kami
, mereka selalu menyamakannya, sehingga tidak ada batasan gerak antara golongan
kami yang tua dengan yang muda. Dan satu hal lagi mereka selalu menanamkan
kepada golongan yang muda untuk saling bekerja sama dalam membangun rumah,
mencari makan , maupun saling melindungi satu sama lain. Mereka menanamkannya
dengan mencontohkannya dalam bersikap dan berperilaku, tidak hanya dengan omongan saja. Itu sebabnya golongan kami
selalu menyatu dan sulit untuk dipisahkan.
Hal itu
tentunya berbanding terbalik dengan golongan raksasa yang badannya jauh lebih
besar dari kami, kami biasa memanggil mereka dengan sebutan manusia. Mereka
adalah makhluk yang egois. Ketika telah berhasil mendapatkan sesuatu, mereka
selalu lupa dengan sesamanya dan senantiasa berlaku angkuh dan riya. Mereka juga
saling membedakan, ada yang dikatakan golongan si miskin, golongan si kaya,
hitam dan putih adalah kotak-kotak kehidupan katanya. Satu lagi yang membedakan
kami dengan manusia adalah mereka bisa menasehati sesama, tapi jarang sekali
ada dari mereka yang mau dan mampu
mencontohkannya dengan sikap dan perilaku mulia. Itulah sebabnya manusia sulit
disatukan dan sering bermusuhan.
Yah Kami
pun melanjutkan perjalanan, lalu mendaki tempat penyimpanan. Setelah berhasil
mencapai puncak, kami pun langsung menjatuhkan diri ke atas tumpukan-tumpukan
butiran manis itu.
“Hm.. Yummi....” Itu lah kata yang pantas
untuk aku katakan saat berada di atas butiran-butiran itu dengan sesekali
mencicipinya maklum saja aku belum sarapan pagi. Ya ini adalah butiran-butiran
gula yang menjadi makanan pokok kami . Rasanya ingin kubawa semua gula-gula
yang ada dikarung ini untuk kemudian kupersembahkan kepada Ibuku. Biarlah
kemudian Ia yang akan membagikan kepada rakyatnya atau mungkin Ia akan
menyimpannya sebagai cadangan makanan disaat musim paceklik tiba. Tapi apalah dayaku meskipun Tuhan menciptakan
aku dengan tangan dan kaki yang banyak, tapi Ia hanya mengizinkanku untuk
membawa satu butir gula saja, walaupun demikian aku tetap bersyukur karena aku
tahu setiap apa yang telah diciptakan oleh Tuhan pasti mengandung hikmah yang
sangat besar. Mungkin Tuhan hanya mengizinkanku membawa satu butir gula karena
Ia tidak mau melihatku menjadi serakah dan sombong seandainya aku membawa lebih
dari satu butir gula. Setelah aku mengambil butiran gula yang lumayan besar,
aku mengajak kawan-kawanku untuk segera pergi meninggalkan tempat itu, karena
jika terlalu lama berada di situ , nyawa kami akan terancam dan hancur menjadi
adonan roti, sebab manusia selalu menghiraukan kami hanya karena tubuh kami
yang kecil dan seolah-olah tak berguna di mata mereka.
Akhirnya
aku bisa keluar dari tempat itu, tentu saja butuh perjuangan yang keras untuk
bisa keluar. Sama halnya dengan
segolongan kami yang lebih dewasa dari kami, aku dan teman sebayaku pun juga
tidak berperilaku sombong kepada penduduk yang belum mendapatkan gula, aku senantiasa
bersalaman kepada mereka, namun kali ini disela-sela salaman kami, aku
mendengar percakapan dua orang manusia .
“Nak
sudah kamu sapu lantai ini?” kata seorang manusia yang berambut panjang.
“Mm... Maaf
Bu, Fauzan lupa.” Jawab manusia lain dengan badan yang jauh lebih kecil dari
manusia berambut panjang itu.
“Kamu
ini! Ya sudah cepat segera sapu lantainya karena Ibu lihat lantai ini banyak
sekali pasirnya.”
“Baik Bu“
DEG
Jantungku
berdebar saat mendengar percakapan dua manusia ini, untuk sejenak pikiranku
melayang pada sosok Ibu yang sedang berada di rumah bersama rakyatnya. Aku tau
sesuatu yang buruk akan segera menimpa mereka dan rumahnya. Jika manusia itu
menyapu lantai, maka rumahku dan seluruh isinya akan ikut tersapu, begitu juga
dengan Ibuku dan rakyatnya. Tanpa pikir panjang lagi aku dan temanku berusaha
berlari sekuat tenaga agar bisa sampai di rumahku dahulu dibandingkan dengan
manusia yang akan menyapu lantai itu. Aku dan teman- temanku tidak memikirkan
lagi gula-gula yang sudah kami dapatkan dengan susah payah tadi, yang ada dalam
benak kami adalah menyelamatkan keluarga kami. Tapi apalah dayaku, aku hanya
makhluk bertubuh kecil, meski aku punya enam kaki tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa bila dibandingkan dengan manusia, yang hanya punya dua kaki saja. Manusia itu langsung menyapu rumah-rumah kami
tanpa memikirkan ada makhluk-makhluk kecil yang tinggal di dalamnya.
“Ibu...!”
teriakku sekuat tenaga sambil meneteskan air mata.
Untuk pertama kalinya aku melihat Ibuku
terombang-ambing terkena hempasan sapu yang sudah tak lengkap lagi ada ijuknya,
sementara rakyatnya berusaha melindungi namun mereka juga tak mampu berbuat
banyak, dan akhirnya mereka semua bergelimpangan tak bernyawa di lantai rumah
yang usam. Betapa hancur dan meyayat hatiku melihat kejadian seperti ini, tepat
di depan mataku sendiri. Aku terpukul menemukan jasad Ibu yang sudah tak utuh
lagi raga dan kakinya. Namun Ibu masih bisa bernafas dan mengucapkan kata-kata
terakhir untukku.
“Nak...
kamu harus bisa menjaga serta melindungi dirimu dan golongan kita. Jangan
pernah menyerah karena nasib kelangsungan kita ada padamu. Jangan pernah
mendendam karena ini adalah takdir kita”.
“Tapi Bu...
Aku belum mampu untuk melakukannya” sambungku sambil menahan tetesan air mata
agar tidak terjatuh, tapi ternyata menetes juga.
“Ibu
percaya kamu bisa”
Dan
akhirnya Ibuku menghembuskan nafas terakhir di pelukanku. Aku pun segera menarik
jasadnya perlahan ke tempat yang lebih layak lagi. Sementara teman-temanku juga ikut menarik
jasad-jasad penduduk lain. Hari itu ternyata menjadi hari terakhirku melihat
wajah Ibu.
***
Kini
hari-hari yang kujalani menjadi sunyi sepi dan tanpa semangat hidup, aku slalu mengingat kejadian itu. Aku kini
sebatang kara mencari gula-gula untukku bertahan hidup. Padahal biasanya aku
mencari gula–gula untuk kupersembahkan
pada ibuku, tapi ibu kini telah tiada, dan hanya untuk aku sendirilah gula-gula
itu. Tak ada lagi senyuman, canda dan tawa dari Ibu. Serasa sepi dan hampa
rasanya hidup ini.
Perasaan
itu terus terniang-niang di ambang khayal pikiran selama berhari-hari. Hingga
pada suatu hari di saat aku sedang mencari gula bersama teman-temanku. Tanpa
aku sadari manusia-manusia itu menuangkan air panas dalam gelas, dan hendak
membuat sebuah minuman berwarna kecokelatan. Sementara pada saat yang sama pula
aku sedang berada di dalamnya hendak mengambil sebutir gula, dan teman-temanku
sudah lebih dahulu keluar dari gelas-gelas kaca, teman-temanku sudah berusaha
berteriak padaku tapi aku tidak mendengar teriakkan mereka. Lagi-lagi mereka
tak memikirkan bahwa ada makhluk kecil tak berdaya di dalam gelas ini. Hingga
akhirnya disaat mereka menuangkan air, tubuh dan kaki-kaki kecilku hancur
melepuh bersama segelas air panas yang mereka tuangkan. Begitu sakit rasanya,
aku berteriak sekuat tenaga menahan derita, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Dan saat-saat itulah yang menjadi saat-saat terakhirku memandang wajah dunia.
Ibu
maafkan aku karena aku belum sempat melaksanakan amanahmu. Haruskah golongan
kita punah dan binasa di tangan makhluk-makhluk yang jauh lebih besar dari pada
kita? Hanya Tuhanlah yang tahu akan makna kelangsungan hidup makhluk-Nya.
Sementara itu aku masih tak bisa mengerti mengapa manusia selalu mengabaikan
sesuatu hal yang kecil di mata mereka? Mengapa mereka selalu melakukan sesuatu
semena-mena pada makhluk lain? Apakah mereka tak bisa menyadari bahwa ada
makhluk yang jauh lebih besar dari tubuh mereka dan jauh lebih hebat dari
mereka? Sekali lagi hanya Tuhanlah yang bisa menjawab semua pertanyaan itu.
0 Response to "CERPEN - KAKI-KAKI KECIL"
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.