CERPEN - KADO UNTUK HAMIDAH
Kado Untuk Hamidah
Oleh: Ahmad Teguh Fahruki
Di danau ini, pohon-pohon
cemara berbaris rapi menemani tepian, rumput-rumput kecil berkumpul melapisi
jajaran tanah yang terhampar, sedangkan batuan kerikil dan pasir rata menyusun
jalanan setapak yang membentang. Tak hanya itu, air danau yang jernih dengan
pepohonan hijau yang mengerumuni, mampu membuat siapa saja larut dalam
ketenangan dan keasriannya.
Hadi kali ini menghabiskan
waktu sore bersama si gadis mungil. Baginya, danau ini memang tak begitu luas,
tapi cukup untuk melepas sejenak beban penat yang sempat merenggut udara dalam
paru-paru. Bangku kayu di bawah pohon ini seolah menjadi saksi bisu dimana ia
dan keluarga biasa menghabiskan waktu. Masih terbayang saat dimana mereka
bercanda gurau bersama, larut dalam tawa ketika menyaksikan sepasang angsa yang
tengah berenang beriringan. Senyum itu semakin terngiang-ngiang. Senyuman
seorang bidadari yang lebih dari sebulan ini tak pernah ia dengar lagi suaranya.
Hadi menatap ke tengah danau. Disana beribu rindu dan asa tertuah. Sesekali
matanya menatap gadis mungil yang duduk di sebelahnya. Dia sedang menikmati
secangkir es krim. Bila melihatnya, mata Hadi semakin berkaca-kaca. Naya sangat
mirip dengan bidadari itu. Dia memang masih belia, baru berumur tujuh tahun dan
belum mengerti terlalu banyak tentang apa yang tengah dialami.
“Ayah mau?” Naya menawarkan secarngkir es krim yang sudah hampir habis.
“Tidak, Naya makan saja ya. Ayah sudah kenyang.” Hadi menjawab dengan
lembut sambil mengusap rambut putrinya itu.
Naya lanjut menikmati es krimnya. Sendok demi sendok ia lahap, nyaris tak
bersisa. Tampak senyumannya menjuntai, menggambarkan raut bahagia. Naya lalu
kembali bermain dengan Boneka Barbie miliknya. Boneka sederhana, namun
bukan itu yang menjadikannya istimewa, melainkan siapa yang telah memberikannya.
Boneka ini adalah pemberian seorang wanita yang ia gelar ibu, saat Naya berhasil
menjadi juara kelas. Kala itu dia masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Naya
sangat menyayanginya seperti ia menyayangi ibunya. Kemanapun Naya pergi, Barbie
tak pernah lepas mengiringi. Selalu Ia peluk sepenuh hati.
Hadi memerhatikan tingkah putrinya. Ada kekhawatiran yang mendalam akan
nasib Naya. Bagaimana jika? Ah, semua pikiran negatif dalam benak, berusaha ia
buang. Perlahan diambilnya secarik kertas dan pena dari dalam saku. Ia lalu
menuangkan segala rasa pada selembar putih. Kata demi kata mengalir begitu
saja, bak hujan rasa dalam dada,
Bersamaan dengan itu,
langit mulai muram, awan kelabu berduyun-duyun menghimpun. Senja sore itu
sepertinya tak akan muncul. Hadi sejenak terhenti. Lebih jauh lagi, ditatapnya
lagi langit Barat. Tatapan kosong mematung dalam waktu.
“Ayah kenapa menangis?”
Suara Naya sontak memecah lamunannya.
Hadi tersenyum kecil, lalu
dikecupnya kening Naya.
“Ayah tidak menangis, mata
ayah hanya sedikit perih, tapi sudah sembuh kok.” Hadi menjawab dengan
senyuman, Ia tak ingin putrinya tahu apa yang sedang ia rasakan. Hadi kemudian
menulis lagi. Paragraf demi paragraf ia tulis dalam selembar kertas. Dan kini
sudah hampir penuh satu halaman.
“Ayah nulis apa?” Naya
kembali bertanya. Anak-anak seusianya memang selalu banyak bertanya. Hadi
sepertinya mengerti dan memaklumi hal itu.
Hadi lagi-lagi tersenyum semu, “tidak, ayah tidak menulis apa-apa.”
“Kenapa Ibu belum bangun
tidur ya Yah?” Hadi tersentak, hatinya tersentuh. Ia diam memikirkan apa yang
akan ia jawab. Pertanyaan seperti itu tak pernah terduga akan muncul dari gadis
mungil itu. Hadi berusah menenangkan diri, perlahan-lahan. Dia menghela nafas
panjang.
“Ibu sangat lelah, jadi
Ibu butuh istirahat dan tidur yang lama, Naya.” Hadi menjawab pelan.
“Oh begitu ya Yah!” Naya
agaknya bisa menerima jawaban Hadi. Sementara Hadi hanya menganggukkan kepala
dengan retina yang berkaca-kaca.
Perlahan air mata langit
pun mulai turun membasahi tanah dan rerumputan rindu. Membawa hawa dingin yang
menyejukkan, dan terkadang menusuk hingga ke dalam dada...
***
Di luar, langit mulai
gelap dan hujan masih turun dengan deras. Hadi kemudian membaringkan Naya yang
telah tidur pulas dalam gendongannya pada sebuah sofa di sudut ruangan. Naya
sepertinya kelelahan karena seharian menghabiskan waktu bersamanya.
Dalam ruang empat kali lima meter ini pula, wanita yang ia cinta tengah
terbaring. Hadi menatap kalender di dinding. Tepat pada angka 11 Januari 2013.
Ia duduk di samping pembaringan. Tangannya erat menggengam jemari yang memucat. Meskipun Ia lelaki, ia juga punya hati.
Sekuat apapun ia menahan kesedihan, jika hati tak lagi mampu membendung rasa,
apalah daya. Air mata Hadi kini tak dapat dibendung. Tetes demi tetes berderai
larut dalam waktu. Suasana semakin hening. Hanya detak jam dinding yang
terdengar.
Hadi lalu meletakkan sebuah buku di dekat kepala sang wanita. Sepucuk surat
yang ia tulis di danau tadi, ia
keluarkan dari dalam saku dan diselipkan pada lembaran buku. Hadi kemudian
mengecup lembut kening istrinya. Tetes air mata perlahan jatuh membasahi pipi
halus yang mulai memucat itu. Ada asa yang tertuang padanya.
Selamat
Ulang Tahun Istriku,,,
Satu bulan
berlalu tanpa suara, senyuman dan candamu. Bukanlah hal yang mudah untuk aku hadapi.
Aku tahu kau lelah terus-terusan tertidur dalam koma yang berkepanjangan karna
sakitmu. Aku tahu, kanker selalu ditakuti oleh banyak orang. Tapi tidak dengan
dirimu. Kau sangat kuat dan tegar. Aku yakin kau akan sembuh dan bisa berkumpul
kembali, bersama kami; aku dan Naya- putrimu. Di sini, aku dan naya benar-benar
merindukanmu.
Hamidah
yang kucinta,,,
Di setiap
sujudku, untaian do’a slalu terhantur
untukmu, untuk kesembuhanmu. Hari ini tepat 11 Januari. Surat ini adalah
perantara rasa dan sebuah buku “Catatan Hati” kusaji untukmu. Sebagai kado di
hari ulang tahunmu. Ini adalah himpunan perasaanku, perasaan saat kita bersama-sama
menghabiskan waktu, saat aku terjatuh dan kau memberikan tanganmu, dan saat kau
tengah terbaring berjuang melawan sakitmu. Semua rasa terhimpun menjadi satu
dalam buku ini. Ku harap suatu hari kau dapat terbangun lagi dan membacanya.
Kau tahu?
Danau tempat biasa kita berkumpul bersama putri kita? Danau itu tengah
merindukanmu. Merindukan setiap nafasmu padanya. Angsa-angsa putih yang masih
setia berenang. Kau suka itu kan? Aku juga menyukainya. Andai Tuhan masih
memberikan waktu, meski hanya sedetik. Aku ingin kembali mengajakmu ke sana.
Hamidah
Istriku yang tercinta,,,
Naya; putri
kita, sering bertanya “Ayah kenapa Ibu lama tertidur?” Aku sejenak terdiam.
“Mungkin Ibu terlalu kelelahan, butuh istirahat dan tidur yang lama.” Hanya itu
yang bisa aku jawab. Agaknya dia belum mengerti keadaanmu, dia masih kecil dan membutuhkanmu.
Membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Hanya dia yang menjadi pelepas rindu ini
padamu. Jika kau juga rindu dengan Naya, hadirlah dalam mimpinya atau mimpiku.
Sekali lagi
selamat ulang tahun sayangku! Cepatlah bangun, kami semua menunggumu kembali.
Hamidah! Surat ini hanya sebagian kecil dari perasaanku, sisanya tertuang dalam
tiap lembaran buku ini, buku yang aku tulis sendiri untukmu. Aku harap kau
menyukainya. Selebihnya akan kubagi lagi cerita dan perasaanku padamu. Setelah
kau terbangun nanti ... Salam Rindu dariku, Suamimu ....
0 Response to "CERPEN - KADO UNTUK HAMIDAH"
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.