CERPEN - GORESAN SEPASANG KAKI

 


SEPASANG KAKI

Oleh : Ahmad Teguh Fahruki

            Tetes embun mulai menyapa dan menyelimuti tanah kering yang haus akan kesegaran udara pagi. Sementara itu sang matahari tersenyum kecil di bawah naungan langit Timur, dengan sinar terangnya perlahan memenuhi kolong langit yang tadinya gelap gulita. Hingga pada akhirnya merayap masuk ke celah jendela kaca kamar Cecil, seolah-olah ingin menyentuh apa saja di hadapannya. Begitu juga tubuh Cecil yang kala itu masih terjaga dalam untaian mimpi. Dengan berat, kelopak mata Cecil sedikit demi sedikit terbuka pertanda bahwa mimpi-mimpi indah telah berakhir bersama fajar dunia.

            “Wuahhhh!” Cecil menguap sambil membentangkan tangannya yang kaku ke atas.

            “Hem, udah pagi rupanya. Mumpung ini hari minggu, buka facebook ku sebentar lah, sekalian lihat-lihat berita terbaru,” gumam Cecil sendiri sambil mulai membuka notebook biru miliknya padahal saat itu Ia belum mandi.

            Jemari Cecil pun mulai menari-nari di atas keyboard dan mulai merangkai kata-kata di wallnya. Pandangannya juga tak pernah mau lepas dari layar notebook birunya. Matanya semakin  tajam terbuka ketika Ia melihat info tentang novel terbaru karya penulis terkenal  Dee Nadya As-Syifa atau yang akrab disapa Mbak Dee. Cecil memang sangat mengagumi dan nge-fans berat dengan Mbak Dee. Sudah banyak cerpen dan novel buah karya Mbak Dee yang telah ia koleksi. Bahkan sebuah novel yang berjudul “Di Bawah Naungan Kubah Cinta-Mu” yang terbit beberapa bulan lalu dan sempat menjadi best seller di beberapa toko buku  telah Ia koleksi juga. Padahal jika harga novel itu dikalkulasikan dengan uang maka jumlahnya sama dengan uang jajannya selama tiga hari. Namun Ia tak pernah peduli akan hal itu, yang terpenting baginya adalah dapat membaca semua karya Mbak Dee dan merasakan kepuasan hati tersendiri dalam membacanya. Selain itu Cecil juga mendapatkan banyak inspirasi dari beberapa novel karya Mbak Dee. Maklum saja Cecil masih baru terjun di dunia kepenulisan .

            Kali ini Cecil seperti mendapat sureprise yang istimewa di pagi hari. Betapa tidak, ternyata informasi yang ada dunia maya tersebut berisi tentang novel baru karya Mbak Dee yang akan launching hari itu juga di salah satu toko buku terkenal di kota Binjai. Dan ibarat mendapat durian runtuh, Cecil semakin gembira dan bersemangat lagi ketika membaca bahwa bagi lima puluh orang pertama yang membeli novel itu akan mendapatkan tanda tangan dan foto bersama Mbak Dee, sekaligus akan diajak berkolaborasi menulis novel bersama Mbak Dee. Tanpa pikir panjang lagi Cecil bersiap-siap mandi, karena Ia tak mau ketinggalan acara launching yang dimulai tepat pukul 11.00 siang WIB.  

***

            Matahari meninggi, cuaca terik dan udara gersang merasuk ke dalam raga, membuat siapa saja yang dirasukinya merasakan gerah dan kepanasan. Cecil sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, termasuk isi dompetnya yang menjadi sarat penting yang tak boleh terlupakan. Cecil membuka garasi, dan mengularkan motor matic pink miliknya. Ia memacu kendaraannya dengan santai, karena Ia sudah pergi lebih awal dan yakin bahwa tidak akan terlambat ke acara itu. Namun malang bagi Cecil, belum lagi sampai setengah perjalanan, ban motornya bocor. Dengan rasa gondok yang bergemuruh, Ia mendorong motornya ke bengkel yang terdekat dari posisinya saat ini. Ada lebih dari setengah jam Ia berada di bengkel itu karena banyaknya  pelanggan yang mengantri juga.

            “Pak, tolong Pak! Motor saya duluan yang dibenerin, saya sedang buru-buru nih Pak!” pinta Cecil sambil memasang muka cemas.

            “Sabar atuh Neng. Ngantri  kayak yang lain!” cetus lelaki tua pemilik bengkel itu.

            “Aduh pak!” Saya buru-buru banget ni Pak!” balas Cecil.

            “Ngantri lah Mbak, kami aja yang duluan datang, ngantri !” sambung laki-laki paruh baya yang sejak tadi duduk mengantri.

            Cecil hanya diam membisu dengan raut wajah merah padam pertanda rasa kesal semakin bergelut di benaknya. Untuk sejenak dia berpikir dan akhirnya....

            “Ya udah deh Pak! Motor ini saya tinggal di sini dulu, biar saya naik angkot saja,” ucap Cecil.

            “Oh ya sudah Neng, nanti saya perbaiki”

             Cecil pun langsung berlalu cepat mencari angkot tujuan Binjai. Dalam perjalananya Cecil tak pernah berhenti berharap agar acaranya belum selesai. Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Acara yang sangat ia nanti-nantikan telah berakhir, tak satu pun peserta yang masih tinggal di ruangan khusus yang telah disiapkan oleh penanggung jawab event itu. Yang terlihat hanyalah segerombolan orang berbet nama sibuk merapikan dan membersihkan tempat acara itu.

            “Mbak! Acaranya udah selesai?” tanya Cecil pada seorang wanita yang memakai bet nama.

            “Oh udah Mbak, sekitar lima belas menit yang lalu selesainya,” jawab wanita itu.

            “Terus, Mbak Dee nya ke mana sekarang,” tanya Cecil lagi sambil menggerutkan keningnya.

            “Udah pergi Mbak dari tadi, tapi kemungkinan besar sih masih ada di sekitar sini,” balas sang wanita.

            “Oh ya sudah, makasih ya Mbak.”

            “Iya Mbak, sama-sama.”

            Cecil berusaha lirik kanan dan kiri, berharap Ia akan bertemu dengan Mbak Dee. Ia berjalan kesana kemari dan tak menemukan hasil yang memuaskan. Lelah dan letih menyelimuti sekujur badan. Dan saat itu pula lah, Cecil baru menyadari bahwa Ia selama ini tidak pernah tau bagaimana raut wajah Mbak Dee, meskipun Ia sangat mengagumi sosok idolanya tersebut. Hal ini disebabkan sosok Mbak Dee yang tidak pernah tampil di layar kaca dan jarang sekali tersorot media massa. Meskipun demikian, karya-karya Mbak Dee berhasil mendunia dikalangan masyarakat khususnya para remaja karena tema yang diangkat sering berkaitan dengan kehidupan remaja.

            “Ih, Bodoh kali lah aku! aku kan gak pernah jumpa sama Mbak Dee, mana aku tahu wajahnya seperti apa!” Gerutu Cecil pelan.

            “Hm ... dari pada sia-sia karna dah jauh-jauh kesini, mendingan sekalian lihat-lihat bukulah sebentar,” ucap Cecil pelan seraya berusaha mengusir rasa kekesalannya. 

            Cecil lalu melangkah setapak demi setapak menyusuri segenap sisi toko buku yang terletak di sudut depan Mall kota Binjai tersebut. Dengan seriusnya Cecil menyoroti satu persatu buku-buku di rak-rak yang berjejer tinggi. Pandangannya seolah tak mau lepas sedetik pun dari barisan buku yang tertata rapi. Bahkan sekat demi sekat tak pernah terlewatkan olehnya begitu saja, terutama saat melewati rak berisi buku-buku karya Dee Nadya As- Syifa. Hingga akhirnya.

            Brukk!

            Argkhh!

            Cecil bertabrakan dengan seorang wanita muda saat sedang memilih-milih buku. Dan terjatuh di lantai dengan buku-buku yang berserakan di sekelilingnya. Semua mata pengunjung tertuju pada mereka berdua. Sementara wanita itu tetap di posisinya tanpa terjatuh sedikit pun. Wanita itu berambut pendek sebahu, dan poni yang menutupi keningnya. Ia menggunakan baju biru, dengan celana jeans biru yang menambah kesan matching pakaiannya. Ia lalu tersenyum kecil pada Cecil, namun Cecil malah memandangi dengan sorot mata yang tajam seolah tak suka dengan wanita itu, apalagi wanita itu cacat di kedua tangannya.

            “Maafkan saya ya Mbak! Saya gak sengaja!” sapa wanita itu kepada Cecil dengan senyuman kecil yang mesih menempel di bibirnya.

            “Maaf? Kalau jalan pake mata dong! Dah cacat, bukannya lebih hati-hati, malah sembarangan kesana-kemari !” sambut Cecil dengan nada meninggi pada wanita itu.

            “Saya tidak sengaja Mbak! Maafkan saya! Perkenalkan....” Balas wanita itu dengan senyuman yang mulai melebar, bukan dengan wajah yang merah padam.

            Namun belum juga wanita itu selesai berkata-kata. Ceci pun memotong pembicaraannya.

            “Ah, sudahlah! Bisanya cuma maaf dan maaf terus!”  sahut Cecil keras sambil putar haluan dan berjalan menjauhi wanita itu. Baru beberapa langkah saja Ia menjauhi wanita itu, terdengar teriakan dari sebagian pengunjung.

            “Mbak Dee Nadya As-Syifa! Minta tanda tangannya dong Mbak, please! Saya ngefans banget sama Mbak!” kata salah satu pengunjung dengan teriakan histerisnya.

            Sontak kata-kata itu membuat jantung Cecil berdebar kencang dan menghentikan langkah kakinya. Apakah wanita tadi adalah benar-benar Mbak Dee Nadya Asy-Syifa? Pertanyaan itu terus berlalu lalang di pikirannya, membuatnya diam membisa dan mematung.

            “Sebentar ya sahabat semua! saya mohon maaf  sebelumnya, berhubung kondisi saya seperti ini, saya hanya bisa memberi tanda tangan lewat kaki saya,” balasnya ramah ke semua fansnya itu.

            Deg!

Makin berdegup kencang jantung Cecil, perlahan ia memberanikan diri berbalik badan. Dan... betapa malunya dia karena orang yang telah dimarahinya, bahkan dicaci maki barusan adalah seorang penulis terkenal yang sekaligus idolanya. Tak disadari, air matanya perlahan menetes menuruni permukaan pipinya yang halus, dan jatuh bertetes di atas lantai putih toko buku itu. Terbesit di hati kecilnya untuk meminta maaf kepada Mbak Dee. Namun Ia merasa malu karena banyaknya pengunjung di toko. Ia pun memerhatikan dari jauh sosok Mbak Dee yang sibuk memberi tanda tangan dengan kakinya, dengan harapan Ia dapat menjumpai Mbak Dee face to face nanti.

Setelah Mbak Dee selesai dari kesibukannya, Ia langsung bergegas menuju hotel tempatnya menginap beberapa hari di kota Binjai. Dan Cecil mengikuti dari belakang mobil Mbak Dee dengan menaiki taksi. Sesampainya di hotel Mbak Dee dengan adiknya langsung masuk ke kamar hotel. 

“Mbak saya mau tanya, kamarnya Mbak Dee di ruangan berapa ya?” tanya Cecil kepada resepsionis hotel .

“Mbak siapanya beliau ya?” tanya balik sang resepsionis.

“Saya keluarganya dari Jakarta,” jawab Cecil berbohong.

“Oh, di ruangan 103 Mbak, lantai 2 paling ujung lorong,” sambung resepsionis.

            “Hm... Terima kasih ya Mbak!”

            “Iya Mbak sama-sama.”

***

            “Permisi!” sapa Cecil tersipu malu.

            “Eh Mbak, mari Mbak! Silahkan masuk!” sapa Mbak Dee memberi isyarat untuk masuk.

            Cecil pun memasuki kamar hotel itu dan duduk di atas sofa. Mbak Dee duduk berhadapan dengan Cecil yang dari tadi masih menundukkan kepalanya.

            “Begini Mbak, saya mau meminta maaf atas kata-kata kasar saya di toko buku tadi siang, saya tidak tahu kalau Mbak ternyata adalah Mbak Dee, penulis idola saya,” ucap Cecil meemberanikan diri memulai pembicaraan.

            “Oh itu, tidak apa-apa saya sudah memaafkannya,” sahut Mbak Dee tersenyum menyambunng pembicaraan .

            “Bener Mbak?” tanya Cecil lagi.

            “Iya”

            “Alhamdulillah, terima kasih banyak ya Mbak!” Balas cecil dengan senyuman.

            “Tapi satu hal yang perlu Mbak tahu di dunia ini, belum tentu tubuh fisik yang sempurna, akan menjamin kesuksesan seorang. Malah sering kita jumpai mereka yang mempunyai fisik sempurna gagal dalam kesuksesan.” Mbak Dee berkata-kata.

            Suasana hening sejenak, Cecil mulai menundukkan kepalanya lagi seraya mendengar nasehat Mbak Dee.

            “Tak jarang juga mereka yang punya kecacatan fisik berhasil menggapai cita-citanya, termasuk saya. Saya dulu sempat putus asa ketika kehilangan sepasang tangan saya 7 tahun yang lalu karena kecelakaan. Saya berpikir bahwa saya tidak akan pernah menjadi penulis yang terkenal. Namun saya berusaha mengambil hikmah di balik semua yang terjadi pada saya. Hingga akhirnya saya bisa bangkit dan berhasil menggapai cita-cita saya. Karya-karya yang saya hasilkan selama ini, tentunya bukanlah goresan sepasang tangan saya, melainkan merupakan hasil dari goresan sepasang kaki saya, yang justru mampu menginspirasi dan disukai para pembaca. Jadi saya harap suatu hari nanti, jika Mbak bertemu dengan orang yang seperti saya, jangan kita hina mereka karena fisiknya.  Sebab belum tentu kita itu jauh lebih baik masa depannya dari mereka.” Sambung Mbak Dee, sambil memberikan senyuman kecil yang hangat kepada Cecil.

            “Iya Mbak, saya minta maaf saya tadi khilaf. Insya allah kedepannya saya akan berubah.” Sahut Cecil pelan.

            “Iya, tidak apa-apa kok.”

- Selesai-

0 Response to "CERPEN - GORESAN SEPASANG KAKI"

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel