CERPEN - IZINKAN AKU MEMILIH KEDUANYA
Oleh : Ahmad Teguh Fahruki
Mentari siang menyengat mengikis
ragaku yang suntuk kala itu. Padahal ini adalah Desember, seharusnya cuaca akan
terasa dingin dan menyejukkan bagiku karena hujan yang biasa hadir di Bulan Desember.
Namun kenyataannya sang Mentari justru malah tersenyum lebar dengan sinarnya.
Tanpa pikir panjang lagi, aku yang sedang duduk-duduk di atas dipan kayu di samping
rumahku, langsung berjalan masuk ke dalam rumah. Memang bosan rasanya jika
sebulan ini cuaca seperti ini terus. Untung saja aku sedang menjalani libur
sekolah, jadi aku tak perlu berkutik
dengan panasnya sinar mentari di luar sana.
Tak banyak hal yang bisa aku lakukan
di dalam rumah selain tidur dan nonton televisi. Namun kali ini aku ingin
menuangkan imaginasiku yang telah berserakan di otakku dan mengumpulkannya
menjadi sebuah tulisan. Maklum saja aku harus menyambung tulisanku untuk lomba
cerpen yang sempat terbengkalai beberapa waktu lalu karena rutinitasku yang
padat.
Tak
perlu berfikir lama, aku langsung melangkahkan kakiku ke arah sebuah ruangan
sederhana berwarna hijau muda yang terletak dipojok dekat ruangan tamu. Kecil
memang ruangan ini, Untuk itu aku tambahkan beberapa lukisan-lukisan sederhana
di dalamnya agar menambah kesan keindahan ruangan ini. Yah inilah kamarku.
Di dalam kamarku inilah, ku ikuti
ajakan dari suara hati untuk menguntai kata-kata indah menjadi sebuah tulisan
dengan makna yang tersirat di balik tiap paragrafnya. Jemariku pun langsung
menari elok menggoyangkan ujung lancip penaku di atas kertas putih bersih tak
bernoda. Ia terus bergoyang-goyang tiada henti mencatat setiap hal yang
terlintas di alam khayalku.
Namun belum lagi aku menyelesaikan
karanganku, tiba-tiba Ibuku masuk ke dalam, memutus rantai pelangi angan yang
terlintas di pikiranku.
“Kamu ngapain?” tanya Ibuku memecah
kegiatanku.
“Eh... Ini Bu, lagi menulis cerpen
Bu!” jawabku dengan nada pelan, karena ku tahu bahwa Ibuku tidak menyukai
apabila aku menjadi penulis.
“Untuk apalah kamu ikut hal-hal
seperti itu, kamu itu mahasiswa jurusan ilmu pendidikan, fokusmu adalah menjadi
seorang guru, bukan seorang penulis fiksi seperti itu! Dari pada kamu
nulis-nulis yang tidak jelas seperti itu, lebih baik kamu coba mengajar private
sekalian melatih kemampuanmu mengajarmu!” Sambung Ibuku dengan nada meninggi.
“Tapi
apa salahnya Bu? Izinkanlah aku memilih keduanya Bu? Kan aku bisa menjadi
seorang guru sekaligus penulis?” tanyaku memberanikan diri.
“Jelas salah! Seseorang itu tidak
bisa fokus pada dua hal yang berbeda dalam pekerjaannya! Fokuslah menjadi
seorang guru, kalau tidak Ibu akan memberhentikan kuliahmu!” ketus Ibuku keras.
Dengan tertunduk pilu, aku
mengangkat bibirku. “Jangan Bu! Iya aku tidak akan jadi penulis.”
Sambungku sambil melawan suara hati
kecilku, dan kemudian Ibuku berlalu begitu saja.
Aku bingung, apa yang salah dengan
profesi sebagai penulis itu? Bukankah menjadi penulis itu adalah hal yang indah
dan layak untuk dipertimbangkan? Dimana penulis mampu menuangkan imaginasi yang
bertaburan di alam khayalnya dan menyusunnya menjadi sebuah kisah sederhana
penuh makna, untuk kemudian dibaca dan menginspirasi banyak orang. Haruskah
pelangi imaginasi itu hilang pupus begitu saja bersamaan dengan berhentinya
sang hujan? Ah, tidak! Pelangi imaginasi itu harus tetap ada, dan membiaskan
sinar-sinar indahnya pada siapa saja yang memandangnya.
Ku hiraukan perkataan Ibuku dan
kembali menggoreskan tinta hitam di atas putih. Hingga akhirnya aku
menyelesaikan tulisanku. Dan keesokkan harinya aku ikutkan tulisan itu kedalam lomba
cerpen yang diadakan di kampusku, tanpa sepengetahuan Ibuku tentunya.
Sebulan
kemudian....
Betapa terkejutnya aku, saat aku
mendapatkan KHS dengan hasil IPK di atas 3,5, disaat itu pula aku mendapat
kabar yang membuatku serasa melayang tinggi di angkasa bersama indahnya
bianglala yang menjulang. Aku berhasil memenang lomba cerpen itu. Dan ku
segerakan kakiku melangkah pulang kerumah, dan menemui Ibuku.
“Bu, lihatlah ini! Aku berhasil
memenanggkan lomba cerpen dan bersamaan dengan itu aku mendapatkan IPK yang
tinggi Bu,” kataku pada Ibuku yang saat itu sedang duduk diruang tamu sambil
meminum secangkir teh.
“Hm....” jawab Ibuku sambil
tersenyum kecil dan membuat hatiku tersenyum lebar. Aku kira Ibuku akan marah
ternyata tidak.
“Jadilah seperti apa yang kamu suka
asal itu tidak menghancurkan harapan Ibu padamu, Ibu bangga padamu Nak,”
sambung Ibuku sambil tetap menunjukkan senyum manis di bibirnya.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak
ya Bu!” balasku seraya tersenyum senang
dan memeluk Ibuku.
0 Response to "CERPEN - IZINKAN AKU MEMILIH KEDUANYA"
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.